The Nightmare Realm
CHAPTER 2 – IDOL
Karya: Ayesha Zaina Ibrahim (9C)
Aku adalah seorang idol lelaki di Korea. Bukan idol terkenal, hanya sekadar nama kecil yang hidup karena beberapa fanbase setia. Wajahku cukup tampan, itu saja modal utamaku. Kemampuan menyanyi? Sangat biasa. Bahkan terkadang, aku merasa hanya menjadi hiasan di atas panggung.
Malam Minggu itu, aku tampil bersama tiga rekan idolku di tempat biasa. Fans-fansku datang, seperti biasa mereka bersorak memanggil namaku. Namun, di tengah keramaian itu, mataku menangkap sosok perempuan yang sama sekali tidak asing... tetapi juga tidak nyaman dilihat. Tubuhnya lesu, wajah pucat, mata kosong menatap langsung ke arahku tanpa berkedip.
Ia tidak ikut bersorak. Hanya berdiri diam seperti patung rusak.
Setelah penampilan selesai, aku membantu manajerku menjual foto dan buku edisi. Penghasilan itu tak seberapa, grup kami hampir bangkrut, tapi kami tetap berusaha. Dan tiba-tiba... perempuan aneh itu muncul. Ia menghampiriku, tersenyum sangat kaku, lalu menggenggam tanganku kuat sekali.
- Ucapku dengan memanfaatkan rupaku yang manis ini.
- Katanya sambil menunjuk fotoku.
Manajerku terkejut bukan main. Kami bahkan tidak punya stok sebanyak itu, jadi ia meminta nomor perempuan itu dan menjanjikan pengiriman ke alamatnya. Perempuan itu juga meminta dimasukkan ke grup fanbase, dan manajerku langsung menyetujuinya.
Sejak hari itu karierku membaik. Followers naik, tawaran tampil perlahan datang kembali. Tapi kebahagiaan itu hanya sesaat...
BUNTUT MIMPI BURUK DIMULAI
Suatu malam, setelah tampil, aku pulang lebih cepat karena sedang tidak enak badan. Jalanan sepi. Namun, sebuah mobil mengikuti di belakangku. Lama-lama terasa mencurigakan. Sampai di apartemen... mobil itu juga berhenti.
Dan dari balik kemudi keluar dia, perempuan itu.
Ucapnya. Suaranya stabil, tetapi senyumnya... terlalu lebar untuk wajah manusia.
Aku mencoba tetap ramah. Kami naik lift bersama. Lift itu sunyi, luar biasa dinginnya. Perempuan itu menunduk, namun pantulan kaca memperlihatkan bibirnya tertarik begitu lebar sampai pipinya seperti robek.
* Aku ingin pingsan rasanya *
Sampai di lantai kamar, aku buru-buru keluar. Tapi sebelum pintu tertutup, aku sempat melihat dia... menahan pintu lift sambil menatap kamarku. Aku mengunci pintu secepat kilat. Saat mengintip melalui kaca, tubuhku langsung lunglai.
Dia berdiri tepat di depan pintuku.
Menatap tanpa berkedip.
SATU MINGGU NERAKA
Hari-hari berikutnya ia muncul lagi dan lagi. Setiap acara, setiap aku pulang, selalu ada dia. Ingin kulaporkan ke manajer, tapi telepon tak pernah diangkat. Akhirnya aku membiarkan... mungkin dia hanya fans berlebihan.
Sampai minggu berikutnya, hujan badai mengguncang malam. Mobil berhenti di depan apartemen karena hujan terlalu deras. Samar-samar, aku melihat seorang perempuan berdiri diam di depan pintu masuk apartemen. Siluetnya sudah tak asing.
Dia. Lagi.
Tapi kali ini... ia jauh lebih mengerikan. Gaun manis yang menempel seperti kulit kedua, tubuhnya kurus mengering, matanya cekung seperti lubang hitam. Rambutnya dikuncir, berbeda dari biasanya. Dan ia membawa sebuah koper besar berwarna hitam kusam.
Saat aku masuk apartemen, perempuan itu tiba-tiba menoleh dan tersenyum lebar, begitu lebar hingga rahangnya seperti patah. Ia berlari pelan mengikuti dari belakang.
"Aku tak bisa lari. Lift sudah terbuka. Dan kami masuk bersama lagi."
LANTAI 13
GERBANG KOPER
Lift berhenti di lantai 13, tapi pintunya tidak terbuka. Lampu berubah merah. Bau mawar bercampur amis darah memenuhi ruangan.
Perempuan itu menatapku tanpa kedip.
Ia mengulang... mengulang... mengulang...
Aku panik, tak sengaja mencengkeram kerahnya. Dan kulit wajahnya mulai mencair, literally menetes seperti lilin panas. Lapisan kulit luruh jatuh ke lantai, memperlihatkan daging merah dan tulang yang menghitam.
Tiba-tiba ia menangis keras, suaranya tidak seperti manusia.
Mulutnya melebar sampai ke telinga, kulit wajah tersisa hanya rentetan otot dan urat berdarah. Ia membuka koper hitam itu. Dari dalam koper itu... muncul pusaran gelap seperti lubang neraka.
Tubuhku perlahan terangkat tanpa bisa kulawan. Darah menetes dari tubuhku sendiri ketika kulitku mulai meleleh, seperti disiram asam pekat. Kedua lenganku retak, tulang muncul dari dalam daging. Tubuhku seperti dibakar api dari dalam.
Aku berteriak meminta tolong, namun mulutku seperti dijahit tak kasat mata.
Dalam cermin besar yang tiba-tiba muncul di depan koper, aku melihat diriku sendiri... perlahan berubah menjadi cairan merah, dagingku menetes, tulangku hancur, tubuhku meluruh masuk ke dalam koper itu satu per satu.
LENYAP. TANPA JEJAK.
"Jika aku tahu..." itulah kalimat terakhir di kepalaku sebelum kesadaranku hilang.
Cerita ini hanya fiksi dan beberapa bagian terinspirasi dari mimpi penulis.
Berhati-hatilah dalam bersikap dan berbicara. Tidak semua orang memahami maksud kita seperti yang kita inginkan.

0 Komentar