MASIH ADA AKU DI SINI
Karya: Aliya Kirana Oktaviani (9A)
Dulu, ada dua siswa
SMPN 12 Bandung kelas 7. Satu bernama Alexa, dan satunya lagi bernama Ananda.
Kalau ada orang
yang mencari Alexa, pasti nama Ananda juga ikut disebut. Kami berdua seperti
paket lengkap—dua orang yang berbeda, tapi nyambung dalam banyak hal. Aku yang
cerewet, Nanda yang santai. Aku suka bercanda, dia suka menertawakanku.
Dunia terasa
ringan setiap kali aku duduk di sampingnya. Entah di kantin, di depan
kelas, atau di jalan pulang sambil menyanyikan lagu-lagu receh yang cuma kami
berdua tahu. Kami dekat bukan karena dipaksa keadaan, tapi karena benar-benar
cocok. Sejak awal sekolah, kami selalu satu selera, satu tawa, satu arah.
Kalau ada yang
melihat kami berdua, mereka pasti bilang, “Kalian tuh kayak cermin—saling nyatu
tapi tetap beda.” Aku selalu tersenyum mendengarnya, karena memang begitulah
kami.
Namun, semuanya
berubah ketika kami mulai terjebak dalam lingkaran pertemanan yang salah.
Lingkaran yang katanya “teman”, tapi isinya cuma saling menyindir, membicarakan
orang di belakang, dan pura-pura baik di depan.
Awalnya, aku dan
Nanda hanya ikut karena tidak ingin dianggap aneh. Tapi lama-kelamaan,
suasananya makin berat. Sampai suatu hari, aku punya masalah kecil dengan salah
satu dari mereka. Aku kira cukup antara aku dan dia saja, tapi ternyata
gosipnya menyebar ke mana-mana. Entah bagaimana, nama aku dan nama Nanda
ikut terseret.
Ada yang bilang ke
Nanda kalau aku ngomongin dia di belakang. Padahal, demi apa pun, aku tidak
pernah melakukannya. Tapi yang sampai ke telinganya adalah versi lain—versi
yang sudah dipelintir jadi buruk.
Aku masih ingat
dengan jelas, waktu itu kami duduk di taman sekolah. Tiba-tiba Nanda bertanya,
“Lex, kamu ngomongin aku, ya, sama mereka?” Aku kaget, lalu menjawab agak
ketus, “Ngapain aku ngomongin kamu?”
Mungkin caraku saat
itu terlalu keras. Mungkin ekspresiku salah. Tapi sumpah, sejak detik itu,
matanya berubah. Tatapannya bukan lagi tatapan sahabat, tapi tatapan orang
yang kecewa.
Sejak saat itu,
semuanya menurun cepat. Kami mulai jarang bicara. Kalau salah satu bicara, yang
lain pura-pura sibuk. Aku sering menatapnya dari jauh, berharap dia akan
menatap balik. Tapi yang kudapat hanya punggungnya yang perlahan menjauh.
Sampai akhirnya,
suatu hari kami benar-benar bertengkar. Kata-kata yang seharusnya tidak
pernah keluar dari mulut kami justru terucap begitu saja—karena emosi, karena
gengsi, karena rasa sakit yang tidak sempat dijelaskan.
Sejak November
tahun lalu, kami tidak bicara lagi. Setiap kali aku lewat lorong sekolah, aku
masih melihat wajahnya. Masih sama. Tawanya masih hangat, tapi bukan untukku
lagi.
Kami seperti dua
orang asing yang punya terlalu banyak kenangan. Kadang aku berusaha terlihat
kuat, pura-pura tidak peduli. Tapi setiap kali aku lewat di tempat kami biasa
duduk bareng, ada rasa kosong di dalam dada.
Pernah, suatu malam
aku membuka galeri ponselku. Ada ratusan foto kami—video-video pendek waktu
kami tertawa sampai nangis. Aku menontonnya satu per satu sambil menahan air
mata, tapi akhirnya gagal. Aku menangis sejadi-jadinya. Bukan karena marah,
tapi karena rindu yang tidak punya arah.
Lucunya, meskipun
semua sudah hancur, aku tidak pernah membenci Nanda. Setiap kali melihat dia
bahagia, hatiku ikut hangat, meskipun sedikit perih. Aku cuma berharap dia
tahu, aku tidak pernah bermaksud menyakitinya. Aku hanya salah cara, salah
waktu, dan salah sikap.
Tapi rasa sayangku
sebagai sahabat tidak akan pernah hilang. Sekarang sudah lebih dari setahun
kami tidak bicara. Namun, setiap kali mataku bertemu matanya, aku merasa
waktu berhenti sebentar. Ada sesuatu di sana—bukan marah, bukan benci, tapi
rindu yang sama-sama kami sembunyikan.
Aku percaya,
mungkin belum sekarang, tapi suatu hari nanti, ketika semuanya sudah tenang dan
ego sudah reda, kami bisa duduk lagi bersama. Entah di bangku sekolah, di
taman, atau di tempat lain. Tertawa, membicarakan masa lalu, lalu saling
memaafkan.
Sampai hari itu
tiba, aku hanya bisa menyimpan satu kalimat di hati:
“Aku masih di
sini, Ananda Triana. Aku nggak pergi. Kalau kamu butuh tempat pulang, kamu tahu
harus ke mana. Aku, sahabatmu, selalu menunggumu.”
Cerpen bisa di baca pada link Cerpen Aliya
0 Komentar